TIONGHOA RASA JAWA (5): Akulturasi Sosial Budaya  

Kampung ini gambaran akulturasi sosial budaya Tionghoa dan pribumi (Jawa). Perbedaan tak menyekat mereka, malah saling melengkapi dan membutuhkan.

idealoka.com (Jombang) – Sikap saling menghormati antara etnis Tionghoa dan pribumi di Desa/Kecamatan Gudo, Jombang, Jawa Timur, tak hanya mendatangkan kerukunan. Lebih dari itu, akulturasi sosial dan budaya juga terjadi sejak lama.

Read More

Ini bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat pribumi dalam kegiatan klenteng, ikatan perkawinan antara pribumi dan etnis Tionghoa, sampai kesenian tradisional Jawa dan Tionghoa yang tumbuh berdampingan.

Salah satu warga pribumi yang menikah dengan etnis Tionghoa adalah Sri Mukminah. Ia menikah dengan mantan ketua yayasan klenteng setempat namun sudah meninggal dunia.

“Saya kenal beliau saat saya menjadi pegawai di tokonya. Setelah istri pertama beliau meninggal, lalu menikah dengan saya,” ucap Sri yang jadi juru masak di klenteng setempat, 4 Februari 2018.

BACA : TIONGHOA RASA JAWA (1): Gudo dan Sejarahnya

Sri Mukminah

Ia bahagia dengan sikap saling toleran dan solidaritas antara pengurus maupun pegawai di kelnteng meski beda agama atau keyakinan.

“Rata-rata pegawai di klenteng ya masyarakat sekitar dan beragama Islam. Ketika waktu salat, kita ya salat,” katanya.

Bukti ikatan perkawinan pribumi dengan etnis Tionghoa juga dikatakan penjaga atau satpam klenteng, Suyoto. Pria yang sudah lebih dari 30 tahun jadi penjaga klenteng ini mengatakan ibunya dulu pernah menikah dengan warga Tionghoa di Gudo.

“Setelah suami ibu saya yang Tionghoa meninggal, ibu saya menikah lagi dengan orang Tulungagung (Jawa) dan punya anak termasuk saya,” kata Suyoto.

BACA : TIONGHOA RASA JAWA (2): Toleransi dari Hati

Hubungan sosial klenteng dengan masyarakat sekitar tak hanya saat momen perayaan tapi juga diwujudkan dalam lembaga sosial dan pendidikan. Yayasan klenteng pernah memiliki balai pengobatan namun sudah beralih fungsi menjadi tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang digratiskan bagi warga sekitar.

Kesenian Tionghoa dan Jawa juga tumbuh berdampingan di Gudo. Klenteng tak hanya mengajarkan atau melestarikan kesenian khas Tionghoa seperti wayang potehi dan barongsai tapi juga kesenian Jawa seperti jaranan.

“Kami menyediakan tempat dan peralatan untuk latihan barongsai dan jaranan,” kata Ketua Yayasan Klenteng Hong San Kiong, Toni Harsono. Toni merupakan dalang sekaligus seniman pembuat wayang potehi. Usaha pembuatan wayang potehi itu dirintis sejak tahun 2001.

Selain melihat contoh wayang potehi di dalam negeri, Toni juga sempat melihat pembuatan wayang potehi di Tiongkok. Ia mendirikan museum dan bengkel pembuatan potehi di kompleks klenteng.

BACA : TIONGHOA RASA JAWA (3): Pribumi dan Berkah Dewa

Ia dibantu beberapa orang di Jombang dan luar Jombang untuk mengukir wayang kayu potehi sampai mengecat dan memberikan sentuhan karakter wayang sesuai peran yang dimainkan.

Kesenian-kesenian tersebut tak hanya dipentaskan pada momen perayaan tertentu tapi juga digunakan sebagai sarana menjalin hubungan harmonis antar klenteng dengan masyarakat sekitar.

“Disini kalau membangunkan orang sahur di bulan puasa (Ramadan) tidak menggunakan kentongan, tapi tabuhan barongsai dan jaranan yang keliling kampung,” kata Toni.

Kehidupan yang harmonis antar umat beragama di Gudo termasuk antara Tionghoa dan pribumi Jawa dikenal sampai internasional. Beberapa pejabat tingkat nasional dan luar negeri datang ke Gudo dan mampir ke klenteng untuk melihat langsung. Pada Maret 2017 Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R. Donovan mengunjungi klenteng setempat.

BACA :  TIONGHOA RASA JAWA (4): Berbagi dengan Warga

Oktober 2017, ratusan pemuda dari 21 negara di ASEAN dan dunia juga mengunjungi klenteng setempat sebagai rangkaian ASEAN Youth Interfaith Camp (AYIC) di Jombang. Mereka mempelajari sikap toleransi antar umat beragama di Gudo.

Klenteng setempat juga sering jadi lokasi seminar atau diskusi keberagaman. Kegiatan mahasiswa baru dari universitas milik pesantren di Jombang juga terkadang dilakukan di asrama dan gedung pertemuan di klenteng setempat.

Perbedaan tak membuat mereka tersekat dan jauh. Perbedaan semakin membuat mereka satu.

Seperti kalimat bijak yang ditulis pada papan ucapan selamat ulang tahun untuk leluhur klenteng dari komunitas pecinta pemikiran Gus Dur atau Gusdurian Jombang: “Semakin kita berbeda, semakin jelas dimana titik persamaan kita”. (*)

Penulis & Foto: Ishomuddin

Related posts

Leave a Reply